Penggunaan mulsa plastik menghemat biaya instalasi lantai greenhouse.
Trubus — Tanaman tomat beef berderet-deret di bedengan. Buah yang ranum menyembul di antara hijau daun. Di dalam greenhouse seluas 700 m2, Jovian Agustinus membudidayakan tomat varietas ceri dan beef. Total populasi mencapai 1.500 tanaman. Alumnus Institut Teknologi Bandung itu menerapkan teknologi hidroponik drip atau tetes sejak kali pertama membudidayakan tomat pada 2016.
Meski demikian, Jovian menggunakan mulsa plastik hitam perak (MPHP) di greenhouse. Jovian memanfaatkan mulsa untuk menutupi guludan selebar 50 cm. Adapun panjang guludan mencapai 20 m. Warna perak mulsa di sisi atas. Di atas guludan itu ia meletakkan polibag berukuran 40 cm x 40 cm. Jarak antarpolibag 60—70 cm. Media tanam di dalam polibag berupa arang sekam.
Lebih hemat
Di polibag itulah Jovian mengembangkan tomat jenis ceri dan beef. Alasannya karena minat pasar dan harga jual yang tinggi dan bersaing. Instalasi selang berdiameter 55 mm menancap di setiap polibag. Dari tandon berkapasitas 1000 liter, nutrisi mengalir perlahan menuju setiap tanaman, bahkan seperti menetes. Jatah nutrisi mencapai 200—300 ml per tanaman muda dalam sekali pemberian.
Pada fase produksi jatah meningkat menjadi 1 liter per tanaman per hari. Adapun frekuensi penyiraman tanaman menyesuaikan kondisi cuaca. Bila panas terik dilakukan 3—4 kali penyiraman sehari. Pekebun berusia 34 tahun itu memanen total 7 ton dalam satu periode tanam atau 5—6 bulan.
Mengapa Jovian yang mengebunkan tomat di dalam greenhouse tetap menggunakan mulsa? Jovian mengatakan, tujuannya pemasangan mulsa di dalam greenhouse untuk menghemat pemasangan lantai pada kebun hidroponik itu. Menurut direktur operasional PT Agricole Indonesia Makmur itu biaya pengecoran lantai greenhouse di area 700 m2 menghabiskan Rp7 juta.
Namun, dengan mulsa plastik ia hanya menghabiskan 1,5 rol senilai Rp1 juta. Mulsa plastik mampu bertahan hingga 2 tahun. Apalagi Jovian tidak akan membongkar-pasang mulsa itu karena menerapkan sistem budidaya hidroponik. Sumber nutrisi bukan dari dalam tanah, melainkan mengalir dari tandon. Selain itu mulsa utuh menutupi bedengan. “Kami tidak melubangi mulsa,” kata Jovian yang hanya meletakkan polibag di atas mulsa.
Petani hortikultura biasanya melubangi mulsa yang telah terpasang untuk menanam bibit. Jovian selalu membersihkan dan sterilisasi mulsa setelah panen bila hendak digunakan pada musim tanam berikutnya. Oleh karena itu, mulsa lebih awet. Menurut Jovian mulsa itu memiliki ketahanan yang baik. Dalam pergantian musim tanam ia tidak harus mengganti seluruh mulsa dengan yang baru, tetapi hanya mengganti yang rusak.
Mulsa plastik itu diproduksi PT Hidup Baru Plasindo. Konsultan marketing PT Hidup Baru Plasindo, Anand Yulianto, mengatakan, mulsa bell terbuat berbahan Low Density Polyethilene (LDPE) dari bijih plastik murni tanpa bahan daur ulang sehingga warna lebih cerah, kuat, dan elastis.
<script async src=”https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js”></script>
<ins class=”adsbygoogle”
style=”display:block; text-align:center;”
data-ad-layout=”in-article”
data-ad-format=”fluid”
data-ad-client=”ca-pub-4696513935049319″
data-ad-slot=”5685217890″></ins>
<script>
(adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});
</script>
Warna lebih cerah berperan penting dalam proses budidaya tanaman hortikultura karena memantulkan sinar matahari yang diperlukan tanaman dalam proses fotosintesisi. Menurut Anand jangka waktu penggunaan mulsa plastik dipengaruhi banyak faktor, yakni kualitas mulsa dan faktor perawatan oleh konsumen. Menurut Anand peminat mulsa bell di tengah pandemi virus korona cukup meningkat. Masyarakat banyak aktivitas bercocok tanam memanfaatkan lahan.
Selain lebih hemat, Jovian mengatakan penggunaan mulsa plastik menekan gangguan hama dan penyakit. Itu terutama untuk patogen penyebab penyakit yang penularannya melalui tanah. Menurut guru besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Ir. Tualar Simarmata, M.S., penggunaan mulsa pada lahan hidroponik wajib hukumnya.
“Hidroponik biasanya menggunakan tanaman-tanaman yang bernilai ekonomi tinggi. Banyak juga penyakit yang mematikan,” kata Tualar. Bila tidak ditutup dengan mulsa, tanah basah akibat penyiraman dan pemberian nutrisi menjadi lembap. Lingkungan yang lembap mendukung bertumbuhan cendawan atau bakteri penyebab penyakit dan lumut. Kondisi lingkungan kotor dan malah tidak mendukung pertumbuhan tanaman budidaya.
Doktor alumnus Universitas Justus Liebig, Jerman, itu mengatakan, “Cipratan dari tanah yang mengenai polibag juga menjadi sarana penularan penyakit.” Manfaat penggunaan mulsa di lahan hidroponik juga serupa pada lahan konvensional, yakni membantu mengoptimalkan sinar matahari yang masuk dan membantu proses fotosintesis tanaman. “Penggunaan lahan hidroponik kan intensif. Di musim tanam pertama mungkin belum banyak gangguan. Tapi musim tanam selanjutnya gangguan dapat terakumulasi,” kata Tualar. (Hanna Tri Puspa Borneo Hutagaol)