Trubus — Desa adalah rumah para petani, peternak, dan nelayan. Itulah yang menjadi fokus perhatian Bina Swadaya–yang juga inisiator majalah Trubus. Hampir setiap Jumat – sebelum larangan berkumpul, social distancing diberlakukan, selalu ada diskusi, ceramah, dan seminar tentang desa. Gara-gara merebaknya virus korona, pembahasan multipihak dan multidisiplin itu berhenti.
Padahal, minat dan semangatnya cukup besar. Apa lagi kalau Bambang Ismawan (82 tahun) tampil. Semua yang hadir bisa merasakan getar dan api semangatnya yang membakar. Ia menjadi suara kaum terpinggirkan, wong cilik, yang terabaikan sejak Tanam Paksa. Bambang dan teman-temannya yakin, sudah 150 tahun kita belum berhasil membela desa.
Kembali ke desa
Sekarang media sosial sekali-sekali bicara. Ada peladang sederhana, membawa cangkul dan poster: “Kami juga takut virus korona, tapi lebih takut masyarakat kelaparan.” Ada lagi yang sibuk mengangkut padi dengan poster “Tenang saja di rumah, biar kami yang bekerja. Kita sudah panen.” Lagu “We are the world” membahana. Mungkin maksudnya, “Dunia adalah desa yang kucinta.”
Intinya desa merasa punya kewajiban menolong kota. Begitulah tradisinya. Kalau terjadi perang, orang kota mengungsi ke desa. Minta makan saudaranya. Padahal, stereotipenya desa itu miskin, terpencil, kurang pendidikan, tidak punya teknologi, sangat terpengaruh pada kondisi alam, sangat sederhana. Meskipun begitu, bila perantau gagal di kota, ditolak, sakit, atau kehilangan pekerjaan, mereka pulang ke desa.
Meskipun miskin, tertinggal, subsisten, ternyata desa mampu melindungi dan menghidupi. Mengapa? Karena desa punya ekosistem, menyatukan ekonomi dan ekologi. Oleh karena itu, kita wajib menghormati, mensyukuri, dan berterima kasih kepada desa. Dalam tuturan sehari-hari kita mengenal 5 macam desa mulai desa tradisional, desa swadaya, desa swakarsa, desa swasembada, dan unit administrasi yang disebut kelurahan.
Indonesia terdiri dari 75 ribu desa dan 8 ribu kelurahan. Jadi total ada 83 ribu entitas, mulai dari kampung suku terasing, sampai kelurahan modern di tengah kota. Tentu, sudah termasuk desa adat yang di Sumatera Barat disebut nagari, di Bali dinamakan banjar, dan yang diberi label “terasing”.
Yang menarik adalah makin terpencil dan terasing, makin tinggi kontribusinya. Merekalah yang memberi inspirasi, semangat, dan ilmu kehidupan sejati. Di sana tersembunyi kekuatan, kebijaksanaan, dan kekayaan Indonesia yang sesungguhnya. Masalahnya seperti disuarakan dalam banyak diskusi, desa-desa itu dieksploitasi, diperas habis-habisan.
Tenaga kerjanya yang produktif digiring untuk menjadi tenaga urban dan migran, baik buruh-buruh pabrik di kota maupun di luar-negeri. Kalau ada yang pintar segera diisap masuk kota dan tidak usah kembali. Akibatnya desa tidak pernah “maju” dalam arti tidak punya rumah sakit, fasilitas pendidikan, hiburan, apa lagi fasilitas ekonomi seperti mal, rukan, ruko, dan restoran.
Padahal, mungkin peradaban desa itulah yang benar. Kalau semua sehat, mengapa harus ada rumah sakit? Kalau semua patuh hukum, taat undang-undang, mengapa perlu membangun penjara? Kalau semua cinta damai, apakah perlu industri senjata? Serangan Corona virus disease 2019 (Covid-19) ternyata menggiring kita pada esensi kehidupan, dan kearifan sejati.
Pengorbanan dan kebangkitan
Ternyata kehidupan yang sehat, bersih, saling peduli, saling membantu, disiplin, dan menjaga kepentingan bersama itu penting sekali. Itu masih terjaga dan berjalan di desa-desa tradisional Indonesia, serta di sudut-sudut bumi. Pada skala negara, contohnya Jepang, adat-istiadatnya berfungsi baik sekali. Terbukti bangsa-bangsa yang memuliakan desa paling cepat, kuat, dan berhasil mengatasi bencana.
Presiden Joko Widodo benar, pada masa sulit, sektor pertanian justru diharapkan lebih mampu memberikan kontribusi. Bukan hanya untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk ekspor. Tentu, ada bagian-bagian pertanian yang harus berkorban. Petani bunga di Belanda yang menyumbang 45 persen perdagangan bunga di dunia terpaksa menghancurkan bertruk-truk panenannya setiap hari.
Begitu juga pekebun bunga di Wuhan, Tiongkok, tempat pertama kali virus menelan korban dan diberlakukan penutupan akses atau lock down. Seorang pemilik greenhouse bernama Geo berkata, “Semua bunga terpaksa menjadi korban, dan kami perlu bantuan karena tidak mungkin beralih menanam yang lain.” Itulah yang disiarkan langsung dari kebun bunga di Wuhan.
Beruntung bila pemerintahnya segera turun tangan. Hal serupa terjadi di Inggris yang cepat menolong petani dan peternaknya. “Supaya warga desa lebih berfokus pada ternak dan lahan pertaniannya,” tulis teman saya di Desa Devon, Inggris Selatan. Bagaimana di Indonesia? Indonesia menjadi negara ke-68 dari 209 negara yang melapor terpapar dan jatuh korban.
Pada awal Maret 2020, seorang ibu penjual bunga di Bandungan, Jawa Tengah, mengirimkan video, tidak seorang pun membeli dagangannya. Dari pagi buta, sampai siang semua kios bunga tertata rapi, pasar sepi, tidak ada yang laku sama sekali. Bagaimana jalan keluarnya? Bersyukur karena banyak petani langsung menjual ke komunitas, tidak lagi melalui pasar, tapi lewat pesanan daring.
Sementara itu beberapa daerah memberlakukan pembatasan sosial bersekala besar (PSBB). Dari pinggir kota, saya mendapat kiriman satu boks daun kelor Moringa oleifera dan beberapa batang setek untuk ditanam. Katanya bisa menanam moringa dalam pot. “Sayur dan seduhan daun kelor membuat tubuh kita sehat dan tahan serangan virus,” katanya. Betul! Saya ingat di desa dulu, nenek membuat sayur bening daun moringa dan klentang – buahnya, gratis dan sangat menyehatkan.
Bersama dengan itu, gerakan menanam jagung manis marak di mana-mana. Petunjuk praktis dan bibitnya bisa dipesan lewat daring dan ditanam dalam polibag di jendela atau di loteng. Kita melihatnya, itu pertanda kebangkitan. Masyarakat disadarkan bisa mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Dari panen cabai dalam pot hingga ikan lele dalam drum, ternyata bisa dilakukan sendiri, di rumah, dengan suka cita. Indonesia kuat, kaya dan bersemangat, berkat dukungan pangan, tenaga dan inspirasi dari desa.***