Trubus — Mana yang lebih mudah: membahas daging olahan atau daging mentah? Tentu lebih asyik mengulas satai, dendeng, soto, tongseng, bahkan abon, dan sop tulang. Kebutuhan daging mentah 687.000 ton yang separuhnya ditutup impor, bikin gemas saja. Itulah yang terasa ketika daging ayam impor dari Brasil mengancam pasar domestik. Perkaranya harga impor bisa jauh lebih murah. Satu kg daging ayam dari Brasil cukup Rp16.000.

Bandingkan dengan harga daging ayam lokal Rp32.000. Bahkan, ayam kampung pada pertengahan November 2020 di atas Rp65.000. Pantas asosiasi peternak ayam menolak masuknya ayam Brasil, yang pengirimannya perlu 47 hari. Persoalan impor daging ayam dari Brasil itu berlarut-larut sejak 2014. Kasusnya menjadi segar, setelah Kompas 12 November 2020 menulis, “Kekalahan Indonesia dalam sengketa dagang produk dan daging ayam dinilai semakin mengancam usaha perunggasan nasional.”
Konsumsi daging
Setiap akhir tahun impor daging selalu jadi berita penting. Pada akhir 2019 kita menyambut 18.000 ton daging kerbau dari India yang ditawarkan dengan harga Rp80.000 per kg. Padahal baik India maupun Brasil tidak masuk dalam 5 besar eksportir daging ke Indonesia. Selama ini, pemasok utama daging beku masih dipegang Australia, Jepang, Selandia Baru, Spanyol, dan Amerika Serikat.
Masalahnya harga daging dunia jadi mahal ditambah adanya kuncitara atau lock down akibat Covid-19 di beberapa negara. Kementerian Pertanian melaporkan realisasi impor sampai Juli baru 18 persen atau 68.125 ton dari 379.050 rekomendasi pemerintah pada 2020. Jadi, perlu strategi mencukupi dan mengamankan peternak dalam negeri.
Indonesia jelas bukan bangsa penggemar daging karena konsumsi hanya 12 kg per kapita setahun. Sebagian besar ( 7 kg) daging ayam, selebihnya daging kambing, sapi, domba, dan babi. Namun, bukan termasuk konsumen yang kecil juga. Bangladesh yang paling rendah hanya makan 4 kg daging per kapita dalam setahun. Konsumen tertinggi Amerika Serikat, 120 kg; Kuwait 119,2 kg, dan Australia 111,5 kg setiap orang dalam setahun.

Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mencatat tingkat konsumsi daging sapi dalam memenuhi protein hewani masyarakat Indonesia pada 2017 baru mencapai 8 persen. Di kalangan negara ASEAN pun masih tertinggal dibandingkan dengan Malaysia 30 persen, Thailand 24 persen, dan Filipina 21 persen. Rendahnya konsumsi daging berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan anak-anak sejak dalam kandungan.
Tentu diperlukan upaya meningkatkan produksi daging nasional untuk mengatasinya. Pemerintah mencanangkan swasembada daging sapi pada 2026 dengan meluncurkan program Sikomandan (Sapi dan Kerbau Komoditas Andalan Negeri). Bagaimana mengatasi masalah daging ayam? Menteri Pertanian Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo berkata, “Kami upayakan stabilitas perunggasan nasional ini utamanya untuk kesejahteraan peternak. Pemerintah juga akan mendengarkan usulan berbagai pihak.”
Diskusi pun segera bergulir. Saya sempat mengikuti webinar asosiasi peternak ayam yang ingin mengatasi masalah dengan memperkuat koperasi. Setidaknya, ada delapan kendala yang dihadapi peternak ayam pedaging. Mulai dari permodalan yang tinggi, nafsu makan ayam yang sering terganggu, mudah stres, rumitnya lokasi kandang sampai ancaman harga daging ayam impor itu.
Sukses pembibitan
Selama ini impor daging ayam yang murah itu bisa ditahan dengan mewajibkan punya sertifikat halal. Namun, bila persyaratan itu dipenuhi, baik dalam proses pemeliharaan maupun pemotongannya, tentu pasar akan menerimanya dengan senang hati. Untungnya, tidak seluruh masa depan peternak ayam gelap gulita. Mengapa? Karena ada nasionalisme di kalangan pencinta ayam kampung!
Contohnya ada Andi Arrow (45 tahun) pegawai negeri sipil (PNS) di kota Palopo, Sulawesi Selatan. Ia membangun kandang 9 m x 7 meter bermodal Rp25 juta. Di kandang itu ia membudidayakan 1.000 ayam kampung. Dari dua kali panen ia mendapat untung dan penghargaan dari walikotanya. Ia diuntungkan ketika panen bertepatan dengan Lebaran. Kedua, kuliner ayam kampung masih banyak penggemarnya. Kunci suksesnya dia tidak membeli bibit ayam umur sehari, tapi berumur 20-an hari.
“Perawatannya lebih mudah, tidak gampang mati dan bisa panen tiga bulan sekali,” tuturnya. Namun, yang terang, harga jualnya masih bagus. Sementara itu di Medan, Fadli Lubis yang dikenal sebagai penyelenggara acara banting stir menjadi peternak ayam dan berhasil. Pandemi membuat surut usaha pertunjukan yang menimbulkan kerumunan dan rawan penularan. Untunglah peternakan ayam yang dibukanya di kawasan Tanjunganom dengan mengerahkan karyawannya justru berhasil. Maklum, permintaan daging ayam sedang bagus dan harganya naik.
Daging ayam kampung di Pasar Palembang yang biasanya Rp65.000 dalam liputan televisi tembus Rp100.000. Harga telur pun terpantau naik di Pasar Keloran, Semarang. Biasanya Rp20.000 menjadi Rp23.000. Ternyata peternakan ayam bisa menjadi penyelamat ekonomi yang menguntungkan. Ini membuktikan masyarakat ingin pasokan makanan harus terjamin. Tentang pengadaannya terserah pada agribisnis yang membereskan.***