Upaya menjaga mutu dan kuantitas kakao untuk memasok pasar ekspor.

Trubus — PT Kampung Coklat Blitar rutin mengekspor kakao ke berbagai negara sejak 2007. Menurut Direktur Utama PT Kampung Coklat Blitar, Kholid Mustofa, standar kualitas biji kakao ekspor berkaitan dengan persentase cendawan, kotoran, bobot per ons, kadar air, dan tingkat warna biji kakao. Kepala Divisi Biji Kakao, Kamsun, mengatakan, para petani mitra kerap melanggar parameter kadar air.
Perusahaan yang semula berupa koperasi itu memang mengandalkan pasokan biji kakao dari 16.000 petani mitra di Kabupaten Blitar, Trenggalek, Madiun, Malang, Mojokerto, Banyuwangi, semua di Provinsi Jawa Timur. “Kami memikirkan nasib mereka sehingga tidak berpaling dari bisnis kakao,” ujar Kholid.
Harga tergantung mutu

bendera PT Kampung Coklat Blitar. (Dok. Bondan Setyawan)
Menurut Kamsun kebanyakan petani dan pengepul yang menyetor biji kakao berkadar air tinggi lantaran tidak sabar. “Melihat harga yang tinggi mereka langsung setor biji kakao,” ujar Kamsun. Idealnya untuk mendapat kadar air maksimal 8%, petani menjemur biji kakao basah di bawah sinar matahari langsung selama empat hari.
Meski demikian PT Kampung Coklat Blitar tetap menerima pasokan biji cokelat petani walaupun tidak sesuai dengan kriteria, kadar air maksimal 8%. Ia mencontohkan, biji kakao berkadar air 10%, sehingga ada kelebihan 2%, maka ada potongan 10% dari harga ideal Rp27.000 per kg menjadi Rp25.000 per kg.
“Kalau petani atau pengepul masih ingin harga maksimal, kami fasilitasi untuk menjemur sendiri di tempat kami sambil istirahat atau minum kopi. Baru, setelah dijemur tinggal diukur lagi kadar airnya,” kata pekebun yang pernah mendalami budidaya kakao di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka), Jember itu. Berapa pun bobot biji kakao yang petani setor tak jadi soal. Ia pernah menerima setoran seperempat kilogram biji kakao dari petani.
Kelompok tani
Kamsun dan Kholid belajar dari pengalaman. Mereka teringat persis peristiwa Desember 2013. Saat itu importir Malaysia menolak 150 ton biji kakao yang ternyata terserang cendawan. Itu akibat hujan deras berhari-hari mengguyur Kabupaten Blitar, Jawa Timur. “Kami kesulitan mengeringkan biji kakao dan gudang kita sampai kebanjiran,” ujar Kholid yang rugi ratusan juta rupiah.
Namun, ia bergeming. Pria kelahiran 17 Agustus 1973 itu jatuh hati pada Theobroma cacao, terlebih Kholid berjanji menyejahterahkan petani kakao binaannya. Pada 2014 Kholid merambah dunia wisata dengan mendirikan wisata edukasi Kampung Cokelat di Blitar. Masyarakat antusias mendatangi destinasi wisata baru itu. Selain itu ia mempercepat keluar-masuk biji kakao.

Lelaki 45 tahun itu tak berani lama-lama menahan kakao di gudang. “Dulu bisa kami tahan di gudang hingga sepekan ketika harga kurang bagus, tapi sekarang lebih cepat lebih baik dengan tetap mempertimbangkan fluktuasi harga,” ujarnya. Eksportir kakao itu semula kelompok tani Guyub Santoso yang beranggotakan 400-an petani. Kelompok tani itu kemudian mendirikan Koperasi Guyub Santoso.
Kholid berupaya memasarkan kakao ke pasar internasional yang terkenal sulit dan penuh risiko. Menurut Kholid penolakan atau pengembalian produk bentuk perhatian dari mitra bisnis agar ia semakin memperhatikan kualitas biji kakao. “Produk kami ditolak sudah hal biasa. Tinggal kami perbaiki lagi kualitasnya. Yang lebih kami khawatirkan kalau produk kami diterima tetapi setelah itu putus kontrak selamanya,” ujar mantan peternak ayam petelur itu.
Sejak pertengahan 2016, perdagangan kakao ditangani PT Kampung Coklat Blitar. Perusahaan itu rutin mengekspor biji kakao kering sejak 2007. Biji kakao produksi Kholid yang berkualitas sejatinya mendongkrak pamor kakao dan cokelat Indonesia di kancah internasional.
Peneliti kakao dari Puslitkoka Jember, Jawa Timur, Dr. Soekadar Wiryadiputra, M.Sc. menuturkan. Indonesia hanya menempati urutan ke-3 setelah Pantaigading dan Ghana sebagai produsen kakao terbesar di dunia. Padahal Indonesia unggul dalam hal luas wilayah dan iklim yang sangat cocok untuk pengembangan kakao.
“Harusnya bisa lebih tinggi lagi,” ujar Soekadar. Oleh karena itu, Indonesia masih butuh pebisnis-pebisnis kakao lain seperti Kholid Mustofa yang mampu menembus pasar ekspor kakao internasional. Ia jatuh bangun menjaga mutu buah dari Tanjung Yucatan, Meksiko, itu. (Bondan Setyawan)