Trubus.id— Selain menguntungkan, berbisnis kopi robusta juga banyak kendala yang harus dihadapi. Bahkan, hambatan itu sudah muncul sejak di lahan. Penggerek buah kopi (PBKo) Hypothenemus hampel momok bagi para pekebun.
Menurut mantan Kepala Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya, Ir. Achmad Srajana, M.Si, salah satu serangan PBKo terbesar pada 2010 di Bali di lahan seluas 116 ha. Serangan hama anggota famili Scolytidae itu menurunkan hasil panen hingga 50%.
Sementara itu, menurut Q grader atau penilai mutu kopi di Jakarta, Daroe Handojo, kendala lain yakni rata-rata produktivitas panen kopi di Indonesia rendah yakni hanya 700—1.000 kg per ha per musim.
Jumlah itu jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan produktivitas kopi Vietnam yang mencapai 2.500—3.000 kg per ha per musim. Harap mafhum, budidaya di Vietnam lebih massal, luas kebun yang dikelola petani rata-rata lebih dari 4 ha, di lahan datar, dan menerapkan mekanisasi optimal.
Sementara di tanah air lokasi kebun kopi rata-rata konturnya berbukit, dan luasan pengelolaan petani kurang dari 2 ha, sehingga tidak ekonomis jika menerapkan mekanisasi ala Vietnam.
Jika semua aral teratasi, potensi pasar robusta sangat besar. Dwi Muji Prasetyo, Eksportir di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, rutin mengekspor kopi robusta. Dwi memasok roastbean atau kopi pascasangrai dan bubuk untuk pembeli di Hongkong.
Selain itu ia juga rutin mengirimkan kopi bubuk ke Israel. Dwi tidak membedakan harga untuk pasar ekspor dan lokal. Harga jual kopi Rp125.000 per kg dalam bentuk kopi pascasangrai dan Rp140.000 per kg bubuk (harga per Januari 2023).
“Ongkos kirim ditanggung pembeli,” kata Dwi.