Limbah kulit buah kakao dan pupuk kandang sumber nutrisi kakao organik.
Dalam tiga tahun terakhir Agus Utoyo memanen rata-rata 50 kg buah kakao per pekan dari 400 pohon. Pekebun di Desa Merabung III, Kecamatan Pugung, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, itu memanen dua kali lipat dari panen sebelumnya yang hanya 25 kg. Dari hasil panen itu Agus memperoleh 22,5 kg biji kakao kering. Ia menjualnya Rp23.000—24.000 per kg sehingga meraih omzet Rp517.500—Rp540.000 setiap pekan.
Masa panen kakao di kebun Agus juga lebih lama. Pada 2015 Agus memanen buah kakao selama 9 bulan yaitu pada April sampai Desember. “Musim panen puncak biasanya pada April—Mei,” tutur pekebun kakao sejak 2004 itu. Padahal, untuk membudidayakan kakao Agus tak lagi menggunakan pupuk sintetis kimia. Sebelumnya ia memberikan pupuk NPK dan Phonska dengan dosis masing-masing 100 g per tanaman setiap 6 bulan sekali.
Limbah kakao
Agus Utoyo berhenti menggunakan pupuk sintetis kimia sejak 2006 dan hanya memberikan kotoran kambing hasil fermentasi dengan dosis minimal 15 kg per pohon. Frekuensi pemberian pupuk itu setiap 6 bulan. Agus juga memanfaatkan limbah buah kakao sebagai sumber nutrisi. “Saya tidak secara langsung mengolah limbah kakao menjadi kompos, tetapi selalu membuang kulit buah kakao di sekitar areal tanaman,” kata Agus.
Untuk mengurai seluruh bahan organik itu ia menyiramkan larutan pupuk hayati berkonsentrasi 8,8 ml per liter air di sekitar area perakaran. “Saat musim panen 2013 produksi buah kakau di kebun saya naik hingga 100%,” kata Agus. Namun, Agus menyarankan agar rutin memberikan pupuk organik bila menggunakan pupuk hayati. Pada 2014 hasil panen kakao Agus kembali anjlok seperti panen 2 tahun sebelumnya karena hanya mengandalkan pupuk hayati.
Sementara asupan pupuk organik ia hentikan. “Ketika itu saya terlalu mengandalkan pupuk hayati dan pupuk organik kurang maksimal,” kata Agus. Menurut Agus pemakaian pupuk organik juga menghemat biaya pupuk. Biaya pembelian pupuk mencapai Rp1.600 per pohon, sedangkan pupuk organik hanya Rp1.000 per pohon. Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Riset Pekebunan Indonesia (LRPI) Dr Ir Didiek Hadjar Goenadi MSc, kulit buah kakao sangat berpotensi sebagai pupuk organik.
Setelah menjadi kompos, kulit buah kakao mempunyai pH 5,4 dan mengandung 1,30% nitrogen (N) total, 33,71% karbon (C) organik, 0,186% fosfat (P2O5), 5,5% potasium oksida (K2O), 0,23% kalsium oksida (CaO), 0,59% Mg. Namun, sedikit pekebun yang memanfaatkan kulit buah kakao sebagai pupuk organik meski kandungan yang lumayan lengkap itu.
Limbah melimpah
Menurut dosen matakuliah budidaya tanaman perkebunan di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Dr H M Subandi MP sebagian besar pekebun kakao masih menggunakan pupuk sintetis kimia. Dosis pemupukan sesuai dengan fase pertumbuhan. “Pupuk organik biasanya diberikan hanya sebagai pupuk dasar,” tuturnya. Untuk tanaman berumur 2—22 bulan, para pekebun biasanya memberikan 15—30 kg Urea, 15—30 kg TSP, 8—45 kg KCl, dan 8—15 kg kieserite per hektare.
Ketika tanaman berumur 32—42 bulan, dosis pupuk meningkat menjadi 140—160 kg Urea, 200—250 kg TSP, 250 kg KCl, dan 60—80 kg kieserite. Jumlah pupuk itu untuk populasi sekitar 1.100 tanaman per ha dengan jarak tanam 3 m x 3 m. Tanaman yang masuk fase berbuah membutuhkan asupan nutrisi lebih tinggi karena tanaman membutuhkan energi lebih banyak. Nutrisi itu tidak hanya untuk metabolisme tanaman, tapi juga untuk pembentukan buah.
Padahal, produksi limbah kakao Theobroma cacao mencapai 60% dari total produksi buah. Berdasarkan data statistik Direktorat Jenderal Perkebunan 2013, produksi kakao nasional 938.843 ton dari luas areal tanam 1.736.403 hektare. Itu berarti dari jumlah produksi itu menghasilkan 563.305 ton limbah. Seandainya limbah itu dimanfaatkan menjadi kompos, maka para pekebun tak perlu lagi bergantung pada pupuk sintetis kimia, seperti halnya Agus. (Muhamad Fajar Ramadhan)