Beragam tahapan uji mutu sejak budidaya hingga pengolahan hasil untuk menjamin kualitas maitake.
Kota Yuzawa berbeda dengan Tokyo yang sibuk, bergegas, dan riuh. Yuzawa yang berjarak 181 km dari ibukota Jepang itu justru senyap. Kota di Distrik Minamiuonuma, Prefektur Niigata, Jepang, itu memiliki sumber air yang sangat bersih. Wajar bila Yukiguni Maitake Co., Ltd. memilih kota itu untuk membudidayakan jamur maitake. Kondisi alam Minamiuonuma mirip dengan kawasan Tohoku, asal-muasal jamur maitake.
Menurut Kepala Departemen Riset dan Pengembangan Yukiguni Maitake, Akihiro Tanaka, Ph.D., habitat jamur maitake di hutan pedalaman di kawasan Tohoku, di sekitar Prefektur Fukushima. Karena berlokasi di dalam hutan pedalaman, sumber air dan lingkungan di sana sangat bersih dan jauh dari kontaminasi. Kawasan di timur laut Jepang itu juga memilik banyak bukit dan pegunungan yang membentang dari utara ke selatan.

Uji mutu
Bukit dan pegunungan juga mengelilingi Yuzawa, kota berpenduduk 58.000 jiwa. Ketika musim dingin, salju menyelimuti pegunungan. Ketika musim semi, salju tebal itu mencair, meresap ke dalam tanah dan mengalir ke sungai-sungai. Kondisi alam itulah yang membuat sumber-sumber air di kota ini sangat bersih dan mengandung mineral tinggi.
Yukiguni menerapkan prosedur sterilisasi ketat di kawasan budidaya jamur maitake. Meski demikian, bukan berarti jamur maitake yang dihasilkan bebas dari risiko kontaminasi. “Kami memiliki laboratorium untuk menguji mutu jamur maitake,” ujar Direct Marketing General Manager Yukiguni, Yu Ochiai.
Di ruangan laboratorium staf laboratorium tengah melakukan pengujian untuk menjaga mutu produksi. Perusahaan itu panen maitake setiap hari. Artinya, setiap hari pula para peneliti di Departemen Riset dan Pengembangan Yukiguni mengambil sampel dari hasil panen untuk pengujian mutu. Salah satunya uji higienitas untuk menguji sampel dari kontaminasi bakteri koliform.
Menurut peneliti Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Dra. Noer Endah Pracoyo, DAP & E, M.Kes., bakteri koliform merupakan golongan mikroorganisme yang menjadi indikator suatu sumber air terkontaminasi patogen. Contoh bakteri patogen adalah Escherichia coli dan Salmonella sp.

Bakteri koliform menghasilkan zat etionin yang memicu kanker serta senyawa indol dan skatol yang menimbulkan penyakit bila jumlahnya berlebih. Selain itu para peneliti menguji kontaminasi logam berat. Menurut Carina Pertiwi SS Rh dari Jurusun Biologi Universitas Lampung, beberapa jenis logam berat seperti tembaga atau seng dibutuhkan tubuh untuk membantu kinerja metabolisme. Jika konsentrasi melebihi ambang batas, berubah menjadi racun.
Racun
Logam berat menjadi berbahaya karena umumnya memiliki massa jenis tinggi (5 g/cm³). Unsur-unsur itu bersifat racun dan berbahaya meski dalam konsentrasi kecil. Di antara semua unsur logam berat, merkuri (Hg) paling beracun, kemudian diikuti logam berat lain, yaitu kadmium (Cd), perak (Ag), nikel (Ni), timbel (Pb), arsen (As), kromium (Cr), timah (Sn), seng (Zn), dan tembaga (Cu).

Untuk menguji logam berat itu Yukiguni menggunakan alat inductively coupled plasma (ICP), yaitu perangkat laboratorium yang berfungsi menganalisis kandungan logam pada larutan. ICP mendeteksi jejak logam dalam sampel dan mendapatkan karakteristik unsur-unsur yang memancarkan gelombang tertentu. Alat itu menganalisis 80 unsur. Yukiguni juga mendeteksi kontaminasi bahan aktif pestisida dengan alat kromatografi gas dan kromatografi cair.
Kromatografi gas merupakan jenis kromatografi dalam analisis kimia untuk memisahkan dan menganalisis senyawa yang dapat menguap tanpa mengalami dekomposisi. Dalam kromatografi gas, kromatografi menggunakan tabung pendek beraliran atau kolom. Gas lalu mengalir ke kolom sambil membawa konstituen sampel. Setelah sampel keluar di ujung kolom, perangkat elektronik itu mampu mendeteksi dan mengidentifikasi hasil pemisahan.
Adapun kromatografi cair merupakan teknik untuk memisahkan ion atau molekul yang terlarut dalam suatu larutan. Kedua metode pengujian itu lazim digunakan dalam menguji keamanan pangan. “Kedua teknik itu dapat mendeteksi kontaminasi hingga 386 jenis bahan aktif pestisida,” ujar Yu. Bahkan Yukiguni mendeteksi paparan radioaktif menggunakan detektor semikonduktor germanium dan multichannel analyzer (MCA).

Yukiguni juga secara berkala melakukan uji genetik untuk memastikan strain bibit jamur maitake tetap stabil. Menurut guru besar emeritus Universitas Farmasi Kobe, Jepang, Prof. Dr. Hiroaki Nanba, Ph.D., jamur maitake yang menghasilkan senyawa antikanker MD-fraction adalah strain yang kini dikembangkan Yukiguni. Ia pernah membandingkan beberapa jamur maitake dari berbagai sumber dan hasilnya berbeda.
Ia menyimpulkan hanya strain yang dikembangkan Yukiguni yang menghasilkan MD-fraction. “Oleh sebab itu jika strain jamur maitake berubah, maka tidak bisa lagi menghasilkan MD-fraction,” tutur Nanba. Upaya pengendalian mutu yang ketat itulah yang membuat PT Multicare Mitra Sejahtera, pemasar suplemen di Jakarta Barat, memilih menggunakan ekstrak jamur maitake produksi Yukiguni untuk memproduksi suplemen kesehatan.
“Perusahaan kami berkomitmen memilih bahan baku dengan kualitas terbaik untuk memproduksi suplemen kesehatan,” ujar Drs. Ridwan Salim, M.B.A., Presiden Indocare Group yang menaungi PT Multicare Mitra Sejahtera. Itu lantaran Yukiguni amat ketat menjaga mutu jamur maitake, sejak budidaya hingga proses pengolahan. (Imam Wiguna)