![Sengon mudah dijual dan menguntungkan bagi pekebun.](http://www.trubus-online.co.id/tru/wp-content/uploads/2018/07/584_-126-1-300x199.jpg)
Industri tetap mencari kayu sengon. Harga makin menggiurkan.
“Dulu harga kayu sengon bisa sampai Rp900.000 per m³. Sekarang hanya Rp750.000,” kata pekebun dan pegiat penanaman sengon di Kabupaten Tasimalaya, Jawa Barat, Dian Hadiyanto. Nanti dulu, pria 45 tahun itu belum selesai bicara. Harga sekarang merujuk pada kayu berdiameter 19—24 cm. Harga Rp900.000 berlaku untuk pohon berdiameter lebih dari 25 cm. Empat tahun silam, hanya kayu berukuran minimal 35 cm yang dibanderol seharga itu.
![Ukuran sengon dari kebun makin mengecil.](http://www.trubus-online.co.id/tru/wp-content/uploads/2018/07/584_-127-2-300x136.jpg)
Dian menyimpulkan, “Harga sama tapi kayunya 10 cm lebih kecil, turun 2 ukuran. Artinya harga sekarang jauh lebih mahal.” Padahal, sejak ia mempopulerkan sistem coppice atau tunas dari tunggul (pokok bekas tebangan di atas permukaan tanah) pada 2010, makin banyak orang yang menerjuni budidaya maupun bisnis pohon Paraserianthes falcataria itu. Ia membina 40 kelompok tani sengon yang menerapkan sistem tunggul.
Pabrik kewalahan
Dian juga mencari pohon siap tebang untuk memasok pabrik kayu lapis atau palet kayu. Namun, sejak 2015 ia meninggalkan profesi itu karena seiring pertambahan luasan tanam sengon, pemborong dari daerah sekitar kebun pun bermunculan. Dampaknya, “Pekebun jadi lebih mudah menjual pohon,” kata Dian. Meski pekebun dan pengepul makin banyak, bukan berarti pasokan sengon bertambah. Buktinya kian banyak perusahaan yang kesulitan memperoleh pasokan kayu sengon.
Apalagi mencari kayu sengon berukuran besar jauh lebih sulit. Itulah sebabnya perusahaan pun bersedia menerima kayu meski ukurannya lebih kecil. Pemimpin perusahaan kayu lapis di Jakarta, PT Serayu Makmur Kayuindo (SMK), Hasan, menyatakan, ukuran kayu mengecil karena kayu besar makin sulit diperoleh. Menurut Hasan kayu anggota famili Fabaceae yang berukuran kecil itu, “Tidak cocok dengan setelan mesin.”
![Pabrik pengolahan kayu memerlukan banyak pasokan kayu sengon.](http://www.trubus-online.co.id/tru/wp-content/uploads/2018/07/584_-127-1-300x201.jpg)
Sejak lama Hasan memperkirakan hal itu akan terjadi. Untuk mengantisipasi ia menjalin kemitraan dengan banyak lembaga, termasuk pesantren di berbagai daerah, salah satunya di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Yang terjadi kemudian, pohon terpaksa dipanen sebelum waktunya lantaran pasokan dari kebun nonmitra makin minim.
Selain jumlah pohon besar berkurang dan penanamannya tidak sebanding dengan panen, banyak pekebun memilih menjual ke penggergajian di sekitar tempat mereka. Di sentra sengon di Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, dan sekitarnya penggergajian bisa dijumpai setiap 2—3 desa. Demikian juga di sentra tanaman kayu di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Harga kayu sengon di penggergajian lebih rendah daripada harga penjualan di pabrik.
![Pabrik pengolahan kayu memerlukan banyak pasokan kayu sengon.](http://www.trubus-online.co.id/tru/wp-content/uploads/2018/07/584_-128-1-300x201.jpg)
Menurut pekebun di Jonggol, Rohim Solihin, selisih harga antara penggergajian dengan pabrik bisa sampai Rp200.000 per meter kubik. Perbedaannya terletak pada penaksiran sebelum tebang. “Taksiran kubikasi oleh penaksir dari pabrik biasanya lebih besar, harganya pun lebih tinggi,” kata Rohim. Kelebihannya, penggergajian relatif dekat kebun sehingga proses penaksiran sampai penebangan lebih cepat, pekebun pun lebih cepat mendapat uang.
Pasar Tiongkok
Efeknya, pabrik pengolahan kayu makin kelimpungan. Apalagi selain penggergajian, pabrik pengolah pun makin banyak. Menurut anggota staf perusahaan kayu lapis di Tangerang, Provinsi Banten, PT Sumber Graha Sejahtera (SGS), Sukandar, pada 2014 di Jawa Tengah ada 7 pabrik pengolah kayu didirikan. Akibatnya, mereka terpaksa menyesuaikan mesin pengupas dengan ukuran kayu. “Dulu kayu dengan diameter kurang dari 20 cm tidak diproses, tapi sekarang diameter 10 cm pun masuk mesin,” katanya.
Untuk itu, Sukandar mengajak orang untuk menanam kayu albasia itu. Apalagi kini pekebun dapat mengendalikan musuh utama berupa penyakit karat puru. Daun mindi ternyata manjur mengatasi cendawan Uromycladium tepperianum biang keladi penyakit puru akar (baca: Mindi Musuh Puru halaman124—125). Selain itu terdapat varietas baru yang tahan karat puru sekaligus bongsor. Diameter batang sengon berumur 4 tahun mencapai 30 cm, lazimnya 24 cm (baca: Nilai Plus Sengon Plus halaman 122—123).
Ketika panen, pekebun tidak perlu pusing menjajakan. “Nanti saat panen, berapa pun kayu yang ada kami beli,” kata Sukandar. Setiap bulan, ia harus menyiapkan 100.000 m³ kayu. Jika volume pohon berdiameter 20 cm berkisar 0,3—0,4 m³, maka Sukandar harus memperoleh 250.000—340.000 pohon. Itu sebabnya ia rutin berkeliling ke seluruh Jawa, Lampung, dan beberapa daerah di Kalimantan demi mencari pohon siap tebang.
![Budidaya antara sengon dan lengkuas meningkatkan keuntungan pekebun.](http://www.trubus-online.co.id/tru/wp-content/uploads/2018/07/584_-128-2-215x300.jpg)
Mengeringnya pasokan dari kebun itu berkebalikan dengan permintaan. Menurut Sukandar permintaan dari luar negeri justru makin banyak. Ia menolak menyebutkan total penjualan ke mancanegara. Sebagai gambaran, “Sejak Tiongkok menjadi raksasa ekonomi, kebutuhan kayu mereka meningkat dan mencari penjual dari seluruh dunia,” kata Sukandar. Selain kebutuhan tinggi, persyaratan Tiongkok cenderung longgar ketimbang negara lain, terutama negara maju seperti anggota Uni Eropa atau Amerika Serikat.
Permintaan relatif ajek datang dari Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab atau Bahrain. Sejatinya Qatar juga potensial, sayang sejak berkonflik dengan Arab Saudi dan beberapa anggota Liga Arab lain, mereka mengalihkan fokus mencari pemasok kebutuhan pokok. Di dalam negeri, baja ringan yang makin lazim menjadi bahan bangunan tidak sepenuhnya menggeser kebutuhan kayu. Sengon yang cepat panen dan bisa ditumpangsarikan dengan tanaman jangka pendek menjadi jawaban tepat. (Argohartono Arie Raharjo)