Trubus.id-Beberapa masyarakat masih belum terbiasa mengonsumsi olahan magot. Padahal lalat tentara hitam itu mengandung gizi yang tinggi. Beragam olahan dari magot juga terbukti sudah tidak menyisakan bau anyir lagi.
Di tangan Priska Meilasari magot menjadi camilan bergizi yang gurih dan renyah. Ia bersama rekannya Rr. Arielia Yustisiana dan Leo Eladisa Ganjaria, ketiganya dari Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Provinsi Jawa Timur, melaksanakan Program Kemandirian Masyarakat (PKM) melalui kelompok sadar wisata (pokdarswis) di Desa Gunungsari, Kecamatan Madiun, Kabupaten Madiun, Provinsi Jawa Timur.
Priska dan tim melakukan pemberdayaan pengolahan magot di desa wisata itu. Pengolahan magot menjadi produk pangan aneka rupa. Mulai dari tepung pengganti penyedap rasa, rempeyek magot, dan magot gorang-garing alias magot yang disangrai atau dioven hingga kering.
Mereka biasa menyebut itu sebagai kuliner ekstrim. Berkat kuliner ekstrim yang unik itu terbukti mampu menarik animo pengunjung Desa Wisata Gunungsari yang ada di Kabupaten Madiun. Musababnya pengunjung tertarik karena cemilan aneh dan langka itu.
Lazimnya magot memang dijadikan sebagai pakan ternak. Namun, Priska dan tim memiliki pemikiran lain. Bahwa magot merupakan salah satu sumber pangan yang memiliki nilai gizi tinggi. Ia bersama rekan sekelompok resah lantaran magot yang sudah dikelola masyarakat Desa Gunungsari hanya dijadikan sebagai pasokan pakan ternak.
Alternatif lain hasil komposingnya sebagai pupuk organik dengan kemasan yang kurang memadai. Desa Gunungsari mampu menghasilkan 70—100 kg magot per hari. Padahal di dalam magot mengandung nutrisi tinggi. Menurut Priska kandungan nutrisi itu memiliki nilai tambah selain hanya sekadar pakan lele.
Hasil riset Priska dan tim terbukti pengolahan magot sebagai bahan pangan bernutrisi tinggi mampu meningkatkan pendapatan masyarakat Desa Gunungsari menjadi lebih baik. Keberadaan magot seperti siklus daur kehidupan yang memutar dan berkelanjutan.
Mulai dari dekomposer sampah organik, sumber pakan fungsional, dan sumber pangan fungsional. Petani padi di Desa Jatibaru, Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat, Ruskim, turut merasakan manfaat dari pupuk cair magot.
Ruskim mengombinasikan pupuk cair magot dan kimia untuk tanaman padi miliknya. Pupuk cair magot merupakan hasil penguraian sampah organik oleh magot. Penggunaan pupuk cair magot mampu meningkatkan hasil panen padi hingga 25%.
Pupuk cair magot tergolong pupuk hayati. Mengandung beberapa mikrob yang baik untuk tanaman. Ia memberikan pupuk cair magot sejak fase pembenihan hingga menjelang panen. Kali pertama ia mengaplikasikan pupuk hayati itu saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam (hst).
Selain kaya manfaat, proses budi daya magot juga sangat mudah untuk diaplikasikan. Salah satu warga Kota Bandung Provinsi Jawa Barat, Amin Muhaimin, membudidayakan magot skala rumahan.
Awal mula Amin melakukan budi daya sebenarnya tidak dengan tujuan memperoleh manfaat berupa panen magot. Amin memiliki kendala dalam membuang sampah dapur. Apalagi sampah dapur merupakan sambah basah sisa makanan.
Otomatis aroma tidak sedap akan cepat menguar. Amin memilih budi daya magot untuk menguraikan sampah dapur berupa sisa makanan busuk. Menurut Amin dalam teknik budi daya magot ada faktor utama yang perlu diperhatikan supaya berhasil.
Amin selalu memastikan kadar air pada sampah organik. Meskipun media cenderung lembap sirkulasi udara juga harus tetap terjaga. Amin selalu memastikan media berupa tumpukan sampah organik hanya setebal 2—3 cm saja.
Apabila terlalu banyak pakan, magot akan cepat tua alias menghitam. Magot dengan tampilan terlalu hitam tidak disukai ternak. Hal itu mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas magot.