Masyarakat menggemari madu lebah tanpa sengat. Permintaan melonjak, peluang bagi para peternak.
Trubus — “Aduh, saya tidak ada stok madu.” Itu jawaban peternak trigona di Kelurahan Cilaja, Kecamatan Majasari, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, Ajid. Maklum, Trubus mengunjungi ayah 7 anak itu akhir Januari 2019. Saat itu pertengahan musim hujan sehingga produksi madu berkurang. Lebah yang Ajid pelihara—klanceng nasi Tetragonula laeviceps, klanceng gagak Heterotrigona itama, dan tawon gula Apis cerana—rajin mencari madu sebelum atau setelah hujan.
Selama ini musim hujan identik masa paceklik madu. Namun, Ajid tetap mendapat madu meski sedikit. Hasil panen itu tentu tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan pasar. Dalam 2—3 hari, 50 botol berisi 400 ml madu ludes terjual. Itu setara 20 liter madu. Peternak lebah itu membanderol Rp175.000 per botol. Dalam 3 hari ia mendapat Rp8,75 juta hanya dari madu.
Cuaca
Ajid yang juga kepala salah satu SD di Pandeglang menuturkan, “Kalau menuruti permintaan bisa 4—5 kali lipat itu.” Ia terkendala waktu yang terbatas sehingga banyak permintaan terlewat. Pembudidaya trigona di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Warsino, mengalami hal serupa. Ia baru mampu memproduksi 1 ton per bulan. Adapun permintaan lebih dari 1,5 ton per bulan. Warsito menetapkan harga Rp150.000 per 250 g.
Setidaknya 500 kg per bulan gagal terpasok. Potensi pendapatan yang hilang mencapai Rp300 juta. “Permintaan dari negara jiran seperti Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia terpaksa saya tolak,” katanya. Seno bukan peternak trigona skala besar. Ia justru tidak memelihara. Ia mengandalkan pasokan dari kelompok tani di 12 kabupaten atau kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Setiap bulan mereka rutin mengirim madu dari koloni lebah Trigona biroi dan T. incisa. Ia mengandalkan madu klanceng dari Sulawesi lantaran sejak awal untuk memberdayakan peternak. “Mutu dan kontinuitas pasokan lebih terjamin ketimbang madu dari Jawa,” ujarnya. Kualitas tinggi lantaran peternak memelihara koloni dalam hutan yang vegetasinya beragam. Ia bermitra dengan 22 kelompok peternak trigona untuk menjaga kontinuitas pasokan.
Namun, dari jumlah itu hanya 12 yang aktif berproduksi. Setiap kelompok beranggota minimal 10 peternak, setiap peternak memiliki minimal 100 koloni aktif. Ia mengatur ke-12 kelompok itu agar panen 6 bulan sekali. Dengan demikian maka setiap bulan ia memperoleh pasokan minimal 1 ton madu. “Jumlah itu naik turun tergantung pesanan. Mereka panen berdasarkan permintaan saya,” kata pengusaha minuman herbal itu.
Peternak trigona itama di Serpong, Kota Tangerang Selatan, Banten, Hendri Mulia, juga sempat kewalahan memenuhi permintaan madu. “Sebenarnya permintaan ajek, tapi produksi berfluktuasi akibat pengaruh cuaca,” kata peternak trigona sejak Agustus 2014 itu. Salah satu keunggulan klanceng adalah tetap berproduksi, walau sedikit, meski musim hujan. Itu berbeda dengan lebah madu komersial yang di musim hujan justru harus diberi “makan”. Pada musim hujan produksi anjlok menjadi hanya 40%.
Jika memaksakan panen, koloni trigona bakal kelaparan lalu mati. Musim kemarau pun tidak serta-merta menjadikan panen berlimpah. Saat pohon buah banyak yang berbunga, itulah masanya produksi madu memuncak. karyawan produsen pakan ternak itu menumpuk persediaan madu. Begitu masa paceklik pada musim hujan, stok itu andalan “menambal” kekurangan produksi.
Propolis
Hendri memelihara 300 koloni di Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Ia memanen setiap koloni 2—3 bulan sekali bergiliran dengan mempertimbangkan ketersediaan bunga. Artinya setiap bulan ia panen dari 100 koloni. Per koloni menghasilkan 0,7—1 liter madu sehingga Hendri memperoleh 70—100 liter per bulan. Lantaran sedikit, penjualannya mengandalkan pertemanan, kekerabatan, dan kekeluargaan.
Omzet Hendri hasil perniagaan madu lebih dari Rp80 juta setiap bulan. Harap mafhum harga jual Rp350.000 per 300 ml. Panen madu itama jauh lebih mudah ketimbang laeviceps sehingga produksi madu dalam jumlah banyak pun relatif praktis. Sebaliknya, untuk memperoleh madu, Ajid mengumpulkan kantong madu dari sarang. Ia meletakkan kantong-kantong itu dalam kotak plastik lalu ditekan dengan sendok.
Ia lantas memiringkan kotak sehingga madu mengalir ke bagian yang lebih rendah. Ajid menampung madu itu dalam botol atau gelas dan menyaringnya agar bebas kotoran. Meski proses memperoleh madu lebih rumit, laeviceps memberikan hasil sampingan yang juga laku dijual, yaitu propolis. Ajid menjual propolis dari sarang klanceng kepada salah satu peneliti di Bogor. Sang peneliti lantas memproses resin lebah itu menjadi berbagai produk turunan melalui proses di laboratorium.
Kiat Ajid menghasilkan propolis, “Di sekitar sarang harus tersedia pohon bergetah seperti mangga, sukun, pepaya, atau nangka,” kata pria 61 tahun itu. Peluang bisnis klanceng tidak hanya madu atau propolis. Ajid juga melayani permintaan kotak sarang, baik berisi bibit plus ratu maupun kosong. Pada Desember 2018, ia baru mengirim ratusan kotak sarang berisi koloni ke Lampung. Itu sebabnya saat Trubus bertandang, ia hanya mempunyai 20 sarang.
Ia tidak takut kehabisan karena banyak trigona di sekitar tempat tinggal dan sekolah tempatnya mengajar. Lebah tanpa sengat itu bahkan bersarang di sudut pintu yang berlubang. “Tinggal pindahkan ke dalam kotak lalu letakkan di kebun,” ujar Ajid. Vegetasi di sekitarnya pun mendukung perkembangan koloni klanceng. Setelah menjadi besar, ia tinggal memecah menjadi koloni yang lebih kecil yang masing-masing mempunyai ratu. Begitu seterusnya sehingga jumlah koloni bertambah, produksi meningkat, dan pundi-pundi pun menggembung. (Argohartono Arie Raharjo)