Monday, March 27, 2023

Sejarah Tempe, Kuliner yang Terus Eksis di Segala Zaman

Rekomendasi

Trubus.id — Tempe menjadi kuliner yang lezat. Tempe membuat kenyang siapa pun yang mengonsumsinya, baik sebagai lauk maupun camilan. Selain nikmat, kandungan vitamin B-nya bermanfaat untuk tubuh serta mengandung kalsium untuk mencegah osteoporosis dini.

Wajar saja jika pada 2045 nanti, tempe diharapkan menyelamatkan kebutuhan pangan manusia. Pasalnya, kuliner ini memang warisan turun-temurun dari nenek moyang. Menurut tradisi, aneka macam kacang yang difermentasi bisa menjadi tempe. Kacang merah, kacang buncis, kacang mede, bahkan sorgum pun bisa dibuat tempe.

Empat abad yang silam, Serat Centhini mencatat, seorang pangeran berkunjung ke Tembayat di Klaten, Jawa Tengah, dan disuguhi tempe yang terbuat dari kedelai hitam.

Ada variasi tempe lain yang juga banyak penikmatnya, yakni tempe bacem. Menurut sejarah, tempe bacem muncul pada saat rakyat dipaksa menanam tebu. Tempe direndam bumbu dan gula merah sehingga warnanya menjadi kusam, kehitaman, dan tidak menarik. Namun, rasanya lezat sekali.

Konon, Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, pernah bersemangat mencobanya. “Filosofi bacem adalah kearifan tanpa topeng, tanpa kepalsuan!” Begitu pernah dipopulerkan media bertaraf internasional.

Secara umum, tempe dianggap simbol hidup sederhana dan harmonisnya rumah tangga. Faktanya, tempe diterima sebagai makanan sehat, bahkan makanan mewah di 5 negara, seperti Jepang, Inggris, Amerika, Arab Saudi, dan Singapura.

Tak hanya itu, di sektor akar rumput, tempe terbukti menggerakkan ekonomi rakyat berkelanjutan. Tempe mudah dibuat. Jika pun tidak sempat membuat, banyak warung kelontong menjualnya. Harganya murah meriah, hanya Rp2.000–Rp5.000, Anda bisa menikmati kelezatan tempe.

Lebih dari itu, limbah pengolahan tempe bisa dimanfaatkan. Limbah padat mulai dari kulit ari hingga ampasnya bisa dijadikan kerupuk dan camilan, termasuk puding. Limbah cairnya, untuk penggemukan sapi. Tidak berlebihan bila tempe dinyatakan sebagai solusi peradaban, khususnya dalam menghadapi krisis pangan dunia.

Dahulu, kita mengenal penjual tempe sebagai pendekar. Dari desa, mereka berjalan ke kota, mulai pukul 03:00, harus pintar berkelahi, membawa pisau tajam sebagai alat produksi dan senjata. Sekarang, para pejuang tempe milenial perlu bekerja siang-malam, agar teknologi dan filosofi tempe diakui sebagai warisan budaya tak benda dari Indonesia.

- Advertisement -spot_img
Artikel Terbaru

Tips Menjaga Sapi Perah agar Tetap Produktif

Trubus.id — Memelihara sapi perah harus intensif. Pasalnya banyak tantangan yang dapat membuat produksi susu sapi merosot. Misalnya sapi...
- Advertisement -spot_img

More Articles Like This

- Advertisement -spot_img