Trubus.id–Temuan jamur morel di Indonesia memiliki daya tarik tersendiri. Selain karena tergolong langka di tanah air, harga jamur anggota famili Morchellaceae itu fantastis di pasar global.
Harga morel kering di salah satu lokapasar global mencapai sekitar Rp4 juta per kilogram. Tidak heran banyak pemburu jamur liar di negara empat musim yang mencari jamur itu di hutan.
Bahkan beberapa negara seperti Tiongkok serius mengembangkan morel. Harapannya penemuan morel di Indonesia membuka peluang budi daya jamur itu. Dengan begitu masyarakat bisa memiliki sumber pendapatan lain.
Morel berharga mahal karena memiliki beragam khasiat kesehatan. Peneliti di Pir Mehr Ali Shah Arid Agriculture University, Maryam Ajmal dan rekan, dalam Pakistan Journal of Food Sciences, menyatakan bahwa jamur morel (Morchela esculenta) berfaedah antimikrob, antiinflamasi, antioksidan, imunostimulan, dan antitumor.
Menurut Dosen Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Institut Pertanian Bogor, Ivan Permana Putra, S. Si., M. Si., Ph. D., M. esculenta merupakan morel yang paling banyak dibudidayakan di dunia.
Temuan morel
Pada November 2020 Husni Alfian, S. Pd., menemukan jamur liar yang tumbuh di sebuah polibag hitam milik salah satu warga Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
“Jamur itu agak familier seperti morel atau apa, khawatir ada yang mirip,” kata Yos.
Baca juga artikel Jejak Jamur Morel di Indonesia.
Menurut Ivan penelitian morel mencuat saat penemuan jamur itu di Taman Nasional Gunung Rinjani, Provinsi Nusa Tenggara Barat, pada 2011.
Hasil penelusuran literatur oleh Trubus, penemuan morel selanjutnya di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat, pada Desember 2016, berdasarkan hasil riset Adhityo Wicaksono dan rekan seperti yang tercantum dalam Jurnal Mikologi Indonesia.
Margaretta Christita dan rekan pun menemukan Morchella sp. di Gunung Klabat, Kabupaten Minahasa Utara, Provinsi Sulawesi Utara.
Menurut Ivan perlu penelitian lebih lanjut tentang spesies morel yang ada di Taman Nasional Gunung Rinjani, Sukabumi, dan Lembang.
“Bisa satu spesies, bisa beda. Bisa juga spesies baru. Masih banyak yang harus digali dari morel,” kata Ivan.
Upaya budidaya
Adhityo Wicaksono dan rekan seperti yang termaktub dalam Jurnal Mikologi Indonesia berhasil menumbuhkan morel yang membentuk sklerotia pada kultur murni pada media PDA dan media bibit induk.
Sayangnya Adhityo dan rekan belum berhasil menumbuhkan morel pada kompos. Oleh karena itu, perlu penelitian lebih lanjut sebagai awal persiapan budi daya di masa mendatang. Sementara penelitian morel di Taman Nasional Gunung Rinjani pun terus dilakukan.
Kepala Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang meneliti morel, Asep Hidayat, S.Hut., M.Agr, Ph.D., menyatakan bahwa ada rencana penelitian di laboratorium dan luar ruangan untuk penelitian budi daya morel.
BRIN menyediakan mushroom grow chamber untuk penelitian morel di laboratorium. Perangkat itu juga bisa digunakan untuk teknik budi daya morel di dalam ruangan.
Sementara penelitian morel di luar ruangan berlokasi di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani yang memudahkan untuk pengamatan.
Asep menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara kegiatan Diseminasi Pengembangan Morel Taman Nasional Gunung Rinjani pada 30 Agustus yang dilakukan secara daring dan luring.
Dengan kata lain semua pihak tengah berupaya agar morel dapat dibudidayakan dan mendatangkan manfaat untuk masyarakat dan lingkungan.