Trubus.id—Inovasi pengolahan latoh menjadi penganan kekinian peluang usaha baru bagi masyarakat pesisir. Nori latoh kreasi Dua guru SMPN 1 Rembang, Nuraini, S. P. dan Isnaini Rahmatika, S.Pd., misalnya.
“Saat musimnya latoh melimpah ruah. Pemanfaatannya hanya dibuat salad atau urap. Latoh hanya bertahan 1—2 hari kemudian kempis tidak bisa digunakan. Akhirnya dibuang, amat disayangkan,” ujar Nuraini.
Padahal kandungan gizi latoh cukup banyak terutama protein mencapai 0,8 % yang mengandung asam amino essensial, omega-3, dan vitamin C. Nuraini pun terpanggil untuk berinovasi memanfaatkan latoh menjadi nori sebagai makanan ringan yang menyehatkan anak-anak.
“Kami melakukan uji organoleptik agar bisa diterima,” kata Isnaini. Nuraini dan Isnaini melibatkan 35 guru dan siswa berusia 13—58 tahun di SMPN 1 Rembang untuk uji organoleptik.
Hasilnya 27 responden menyatakan sangat suka dengan nori latoh ditinjau dari rasa, tekstur, dan warna. Hasil uji organoleptik juga menjadi bahan bagi kedua guru itu untuk mengevaluasi rasa nori latoh.
Perbandingan rasa antara nori Porphyra sp. dan nori latoh tidak berbeda. Namun dalam pembuatannya, nori latoh membutuhkan tambahan tepung carboxy methyl cellulose (CMC) sebagai perekat.
“Kami berkali-kali uji coba pakai tebung tapioka dan maizena. Yang paling bagus CMC,” ujar guru mata pelajaran ilmu pengetahun alam (IPA) itu. Kedua inovator itu menggunakan sedikit jeruk nipis untuk mengurangi rasa asin yang dominan.
Hitung-hitungan Isnaini keuntungan per 1 lembar nori latoh mencapai 4 kali lipat. Harga 1 kg latoh Rp10.000. Untuk sekali produksi, Nuraini dan Isnaini hanya menggunakan seperempat latoh seharga Rp 2.500 per 3 g tepung CMC. Hasilnya terbentuk 3 lembar nori berukuran 10 cm x 20 cm.
“Harga per lembar nori di pasar Rp5.500. Bila dihitung bisa untung banyak,” urai Nuraini. Isnaini menekankan bahwa latoh sebagai bahan baku tidak serta merta tanpa kekurangan.
Pasokan latoh yang bersifat musiman menjadi tantangan serta alasan latoh butuh pengolahan sehingga menjadi diversifikasi pangan baru.
“Kalau musim ombak, latoh sulit dicari karena ada di atas terumbu karang. Kami pernah mencari langsung latoh naik perahu ke tengah laut saat sulit dicari di pasaran,” ujar Isnaini.
Paling tidak inovasi latoh menjadi nori bisa menjadi inspirasi pengolahan alga itu yang lebih bernilai ekonomis dan kekinian.