Trubus.id — Sagu memiliki potensi untuk menggantikan beras. Hal itu dengan segala keunggulan yang dibawanya. Di Kabupaten Meranti, ada olahan sagu menyerupai nasi bernama gobak. Rasanya pasti beda dengan nasi, tetapi tidak asing di lidah. Lebih nikmat ketimbang beras analog berbahan sagu.
Meranti dan beberapa kabupaten lain di Kepulauan Riau termasuk giat menggali potensi sagu mereka. Dalam peringatan Hari Pangan Sedunia 2016, Meranti menyabet rekor MURI dengan menampilkan 350 olahan sagu.
Sagu aman bagi diabetesi lantaran angka indeks glikemiknya (IG) rendah sehingga konsumsinya tidak menyebabkan lonjakan kadar gula darah. Nilai IG bubur sagu hanya 48, lebih rendah ketimbang beras cokelat (beras yang hanya sekali disosoh) yang angka IG-nya 50.
Kandungan sagu memang jauh dari lengkap, dominan karbohidrat, sementara protein atau serat sangat rendah. Dominasi karbohidrat itu membuat rasa sagu cenderung hambar. Berbeda dengan nasi yang terasa nikmat meski dimakan hanya dengan sambal.
Secara tradisional, konsumsi sagu dibarengi sayur dan ikan atau protein hewani lain. Lauk dan sayur itulah yang “menambal” kekurangan nutrisi sagu. Namun, kalau sudah berbentuk sohun, sagu bisa diolah seperti mi. Cukup dengan menggoreng atau merebus, plus berbagai rempah penambah cita rasa, sajian lezat siap disantap.
Dahulu, saat kota-kota di Papua belum terhubung oleh jalan raya, warga harus menembus hutan mencapai kota lain. Mereka menggembol sagu berbentuk lempeng sebagai bekal. Konsumsi lempeng itu cukup dengan mencelupkan ke dalam teh atau kopi. Sekeping lempeng memberikan energi setara sekali makan.
Sagu juga bisa menjadi sumber penghasilan, seperti studi kasus di Desa Tanjungperanap dan Sungaitohor, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Kepulauan Riau. Desa itu menjadi percontohan pascakebakaran hutan pada 2016.
Budidaya sagu ditumpangsarikan dengan ikan lele, itik, sapi pedaging, cabai, semangka, jagung, dan kangkung. Telur itik memberikan penghasilan mingguan, kangkung bulanan, serta lele dan jagung manis 2 bulanan. Sementara itu, cabai dan semangka memberikan pemasukan per 3 bulan.
Populasi sagu cukup 100 bibit per hektare. Sagu bisa panen umur 7–8 tahun untuk membuat gula. Sagu adalah tanaman “religius”, daunnya selalu menghadap ke atas sehingga naungan di sekitar tajuk minim. Artinya, populasi tanaman tumpang di bawahnya optimal.
Cabut tunas sagu yang muncul dekat tanaman tumpang, sisakan 1 tunas setiap tahun sehingga nantinya bisa panen sagu setiap tahun. Dengan budidaya intensif seperti itu, sagu dan tanaman tumpangnya bisa menyejahterakan masyarakat dan meningkatkan ketahanan ekonomi.