Masyarakat Mentawai mandiri listrik berkat bambu.
PT Charta Putra Indonesia (CPI) membagikan bibit bambu petung Dendrocalamus asper, ori Bambusa blumeana, dan balkoa atau guadua B. Balcooa kepada warga Desa Madobag, Matotonan, dan Saliguma—semua di Pulau Siberut. Setiap kepala keluarga memperoleh 100 bibit hasil kultur jaringan produsen di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Dua jenis pertama asli Indonesia, sedangkan balkoa lebih banyak tumbuh di India.
Direktur CPI, Ir. Jaya Wahono menyatakan, pemilihan ketiga spesies bambu itu lantaran kandungan energi tinggi. Setiap kilogram bambu itu menyimpan energi lebih dari 17.000 kJ. Bambu guadua malah mencapai 19.000 kJ. Jumlah itu melampaui energi batubara, yang hanya 16.000 kJ per kg. Alasan lain, “Secara alami bambu petung dan duri banyak tumbuh di hutan dan tepi lahan warga,” kata alumnus Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung itu.
Untung ganda
Bambu menjadi bahan bakar pembangkit yang berdiri di setiap desa. Di Madobag dengan hampir 600 keluarga, CPI mendirikan pembangkit berkapasitas 300 kilowatt (kW). Di Matotonan (sekitar 250 KK) dan Saliguma (sekitar 350 KK), CPI mendirikan pembangkit lain dengan kapasitas berturut-turut 150 dan 250 kW. Dengan demikian, warga Siberut mengenal dan mengetahui cara perbanyakan tanaman anggota famili rumput-rumputan itu.
Pengetahuan lokal itu bermanfaat bagi kelancaran pasokan bambu untuk bahan bakar pembangkit. Pasokan bambu lancar, aliran listrik aman. Setiap hari, pembangkit di 3 desa itu memerlukan 17 ton bambu. Madobak 7 ton, sementara Matotonan dan Saliguma masing-masing 5 ton per hari. Bobot sebatang bambu umur panen 4 tahun 27—58 kg, tergantung jenis. Bobot itu dihitung dalam kondisi basah atau setelah tebang, tanpa pengeringan.
Kalau dianggap rata-rata bobot sebatang bambu segar 35 kg, maka 1 ton bambu hanya memerlukan 29 batang. Menurut Jaya Wahono setiap bulan masyarakat hanya menyetor 500 kg, setara 15—20 batang bambu atau 180—240 batang per tahun. “CPI membeli bambu langsung setelah panen Rp150 per kg,” kata Jaya.
Masyarakat menerima harga Rp150 per kg, tapi biaya yang CPI keluarkan mencapai Rp600 per kg. Selain membayar kepada pemilik pohon, mereka juga menyumbang Rp150 per kg kepada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sisanya biaya transportasi dan pengolahan. Artinya, untuk pembelian bahan bakar sampai siap pakai CPI membelanjakan Rp600 per kg.
Subsidi
Menurut Jaya biaya itu belum menghitung operasional atau perawatan pembangkit, yang memerlukan 1,5 kg bambu untuk menghasilkan 1 kilowatt jam (kilowatt hour, kWh). Jaya Wahono menyatakan, biaya pembangkit bambu itu Rp2.000 per kWh. “Itu harga masuk akal mempertimbangkan lokasi Mentawai. Bahan bakar lain, seperti fosil, bakal lebih mahal karena biaya transportasi,” kata ayah 4 anak itu.
Ia mencontohkan, generator berbahan bakar solar memerlukan biaya Rp7.000 per kWh. Alternatif energi terbarukan lain—angin, air, panas bumi—pun tidak efisien. Pembangkit seperti itu lebih cocok untuk pulau besar.
Jaya menggandeng pemerintah melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN). PLN membeli listrik bambu itu Rp2.000 per kWh dan menjual kepada masyarakat seharga Rp415 per kWh. Selisihnya menjadi tanggungan negara yang membayar melalui subsidi. Skema itu menguntungkan lantaran sebelumnya, PLN mengandalkan pembangkit berbahan bakar solar. Sementara itu masyarakat untung 2 kali, memperoleh listrik murah yang menyala 24 jam dan penghasilan dari penjualan bambu.
Dengan harga Rp150 per kg, masyarakat memperoleh Rp75.000 setiap bulan dari penjualan 500 kg bambu. Mereka cukup menebang lalu meletakkan bambu hasil tebangan mereka di tepi jalan. Selanjutnya, pekerja CPI membawa batang-batang itu ke pengolahan. Mereka membelah lalu memotong-motong batang menjadi chips (kepingan) berukuran 4 cm x 10 cm. Setelah penjemuran keping bambu minimal 3 hari, bambu siap diumpankan ke pembangkit.
Melalui proses gasifikasi, bambu berubah menjadi gas—bernama syngas. Proses itu menghasilkan produk sampingan berupa arang bambu dan abu sebagai limbah. Berbeda dengan gas elpiji, syngas tersusun atas campuran metana, hidrogen, dan karbon monoksida. Energi pembakaran syngas hanya 4.000—7.000 kJ per kg, jauh di bawah elpiji (47.000—52.000 kJ per kg). Bahan syngas tersedia melimpah di tanah Mentawai.
“Saat transportasi laut terhambat gelombang tinggi, listrik tetap menyala,” ujar Jaya. Gasifikasi mirip pengarangan, tapi suhunya lebih tinggi, mencapai 1.200ºC. Syngas yang terbentuk langsung dibakar untuk memutar pembangkit. Sistem sinambung itu mengharuskan pengarangan bambu berlangsung kontinu. Selepas tengah malam hingga tengah hari, ketika beban minimal, produksi syngas bisa dikurangi. Jaya Wahono menyatakan, produksi syngas dalam periode itu hanya 40%.
Menurut peneliti Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Sleman, Yogyakarta, Anto Rimbawanto, Ph.D, pemanfaatan bambu di pembangkit listrik adalah hal baru di Indonesia. “Selama ini masyarakat menganggap bambu sebatas bahan bangunan atau kerajinan,” kata Anto. Bambu yang adaptif berpeluang menjadi bahan bakar pembangkit listrik skala kecil untuk menerangi 10.000 desa di tanah air yang belum menikmati listrik. (Argohartono Arie Raharjo)