Agrowisata gandaria manis berkembang di Thailand. Harga jual buah dua kali lipat.
Nurmina Kittikull asyik mengiris daging buah berwarna kuning sebesar telur ayam. Ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa buah itu segar sekali. Ketika buah habis, ia mengambil buah sejenis. Jauh-jauh datang dari Bangkok ke Pak Phli, Provinsi Nakhon Nayok, Thailand, selama 1,5 jam bermobil, Nurmina Kittikull hanya ingin menikmati buah dan panorama kebun mayongchid alias gandaria manis.
Pemilik kebun gandaria itu, Tirawat Tongkong, mengelola lahan amat apik. Di bawah tajuk pohon Bouea burmanica rumput terpangkas rapi. Apalagi buah kerabat mangga itu seronok berwarna kuning keemasan. Ratusan buah itu bergelantungan di balik daun hijau. “Saya suka suasana kebun yang rapi, hijau, dan teduh, sehingga nyaman berkeliling mencari buah matang untuk dipetik,” ujar Nurmina Kittikull.
Lebih mahal
Tirawat Tongkong memang mengizinkan tamunya untuk memetik sendiri, menimbang, dan membayar sebagai buah tangan. Harganya 250—350 baht setara Rp100.000—Rp140.000 per kg. Itu lebih mahal daripada harga di pasaran yang hanya 125—175 baht. Pekebun gandaria sejak 1999 itu memasukkan buah yang telah dibayar ke keranjang bambu. Menurut Tirawat semua produksi habis terjual di kebun.
Mantan pegawai negeri di biro pengairan itu pensiun dini sebagai pegawai negeri untuk mengurus kebun gandaria di Nakhon Nayok—106 km sebelah timur Bangkok. Provinsi itu memang sentra gandaria manis, sehingga banyak kebun di sana. Pemilik lain kebun mayongchid adalah Niyom Rangkanasiri yang tak sempat menjual buah keluar kebun. Buahnya selalu habis di kebun oleh pengunjung agrowisata.
Niyom Rangkanasiri tertarik membudidayakan tanaman buah khas daerahnya pada 2000. Semula ia hanya menanam 10 pohon yang bibitnya diperoleh dari saudaranya, kini ia mengelola 400 pohon. Menurut Niyom beberapa pengunjung dari Indonesia kerap membawa bibit. Menantunya, Ruthynee Burapapat, mengatakan mayongchid berbuah pertama kali pada umur setahun, karena memanfaatkan bibit besar hasil perbanyakan sambung.
Bila ditanam dari biji, lebih dari 5 tahun baru berbuah. Pada panen perdana, ia bisa menuai 2 kg per pohon. Untuk pohon besar yang lebih dari 15 tahun dengan tinggi 6—7 m, mampu hasilkan 1 ton per tahun. Satu kilogram terdiri atas 10—12 buah berukuran besar, 15—20 buah (kecil). Pohon anggota famili Anacardiaceae itu mampu berproduksi hingga umur lebih 30 tahun.
Dua jenis
Mayongchid masih sekerabat dekat dengan maprang alias gandaria Bouea macrophylla. Di Indonesia gandaria antara lain tumbuh di Sumatera Utara, Jawa Barat, Maluku, dan Kalimantan Barat. Ukuran maprang relatif kecil, sebesar bola pingpong, membulat, dan bercitarasa masam. Adapun mayongchid lebih besar, ukurannya sebesar telur ayam, oval, dan manis.
Karena rasanya manis, buah itu disebut dengan gandaria manis. Kulit buah mayongchid relatif getas atau renyah. Kita dapat mengonsumsi buah tanpa mengupasnya. “Saya belum pernah menemukan gandaria manis. Tahun 2005 saya keliling Kalimantan Selatan, tetapi yang dijumpai hanya yang masam dan buahnya kecil-kecil,” ujar Panca Jarot Santoso, peneliti buah-buahan di Balai Penelitian Buah Tropika (Balitbu).
Menurut Panca masyarakat Kalimantan Selatan menyebut buah itu raniah. Buah muda sebagai bahan sambal pedas dan acar atau asinan. Buah yang juga dikenal dengan marian plum itu tersebar dari Myanmar, sebagaimana tersemat pada nama ilmiahnya, Bouea burmanica. Dari penelusuran Trubus, belum ada pemilik pohon di Indonesia yang bisa membuahkan mayongchid asal Thailand.
Pembibit tanaman buah di Parung, Kabupaten Bogor, Bosir Gober, misalnya, memiliki tanaman berumur 4 tahun setinggi 2 m dan belum berbuah. “Mayongchid agak susah berbuah. Mungkin di sana cocok untuk mayongchid, di sini pertumbuhannya agak lambat ,” kata pria sederhana itu. Pembibit lain di Bogor, Syahril M. Said, memiliki beberapa bibit berumur 3 tahun yang juga belum berbuah.
Menurut Niyom perawatan mayongchid relatif sederhana. Ia rutin memangkas cabang agar tinggi tetap 3 m. Tanpa pemangkasan, tinggi tanaman mencapai 5—6 m sehingga menyulitkan panen. Sebab, pohon kerabat jamu mete itu berbuah di ujung ranting. Setelah pangkas, ia memberikan 5—10 kg pupuk kandang per pohon. Ia menambahkan 500 gram NPK 15:15:15 per pohon di bawah tajuk tanaman.
Sebelum pohon berbuah, Niyom memberikan NPK dengan kandungan nitrogen nol. Itu untuk mencegah keluarnya daun baru. Frekuensi pemupukan setiap 2 bulan. Dosis tergantung ukuran pohon, 0,5—1 kg per pohon tinggi 2—3 m. Menurut Niyom hambatan mengebunkan mayongchid ialah serangan lalat buah. Untuk mencegahnya ia memasang perangkap lalat buah di setiap pohon.
Hambatan lain, buah gampang pecah, terutama akibat iklim yang berubah-ubah, hujan dan panas silih berganti secara cepat. Untuk mengatasinya menyiram tanah di bawah tajuk saat cuaca panas. Buah pecah juga akibat dimasukkan dalam lemari pendingin. (Syah Angkasa).