Saatnya meningkatkan keterlibatan pekebun kelapa untuk mengolah beragam produk turunan kelapa.
Sebanyak 99% pemilik pohon kelapa di Indonesia adalah pekebun kecil. Produsen olahan kelapa harus berhubungan dengan pekebun, meski secara tidak langsung melalui pengepul atau tengkulak. Selama 3—4 tahun terakhir ekspor kelapa meningkat kecuali 2020 akibat pengaruh pandemi korona. Namun, ada fakta menarik, ketika ekspor semua produk turunan kelapa merosot akibat pandemi, ekspor briket arang tempurung justru meningkat.
Sayangnya, tren peningkatan ekspor itu malah dibayangi penurunan produksi kelapa bulat. Fenomena penurunan produksi kelapa bulat itu mendunia, tidak hanya di Indonesia. Efeknya terasa oleh para produsen briket arang tempurung. Harga kelapa bulat membubung menyebabkan harga tempurung pun melonjak. Produk turunan tempurung ada dua, yaitu karbon aktif dan briket arang. Harga karbon aktif lebih tinggi daripada briket arang.
Incaran dunia
Produsen karbon aktif pun banyak perusahaan besar yang dikuasai pengusaha mancanegara. Mereka menguasai pasar sehingga produsen baru agak kesulitan. Salah satu produsen besar karbon aktif di Amerika Serikat diakuisisi oleh perusahaan asal Jepang. Hal itu menampakkan ketatnya persaingan di perdagangan karbon aktif. Produsen karbon aktif kelas dunia itu terus-menerus mencari pasokan tempurung kelapa.
Beberapa bulan lalu perwakilan mereka dari Singapura mengunjungi sekretariat International Coconut Community (ICC) untuk mencari pasokan dari Indonesia. Pabrik mereka di Filipina, India, dan Srilanka beroperasi di bawah kapasitas karena kekurangan bahan baku. Di sisi lain, produsen Indonesia menguasai produksi dan pasar briket arang tempurung. Kualitas briket Indonesia sohor di pasar dunia karena kualitas tempurung kelapa lokal tidak tertandingi untuk keperluan shisha atau penghangat ruangan.
Produsen olahan kelapa, terutama briket arang tempurung, perlu mempertahankan keunggulan itu. Di sisi lain keunggulan itu membuat mancanegara mengincar kelapa Indonesia. Tidak hanya produk turunan bernilai tambah tinggi yang diekspor, kelapa bulat dan arang tempurung yang merupakan bahan baku pun diminati pembeli mancanegara. Cara terbaik adalah menggandeng pekebun untuk merawat pohon mereka. Pohon yang terawat lebih produktif dan menghasilkan buah berkualitas.
Estimasi Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, produksi kopra pada 2020 mencapai 2,8 juta ton. Kalau jumlah itu dikonversi menjadi kelapa bulat, jumlahnya setara 14 miliar buah. Berdasarkan data bahwa produksi sekilogram arang tempurung memerlukan 15 buah kelapa, maka potensi produksi arang tempurung dari kelapa sebanyak itu adalah 933 juta ton. Harga arang tempurung yang tinggi, saat ini minimal Rp7.000 per kg, potensi ekonomi perdagangan arang tempurung Rp6,5 triliun.
Berdasarkan asumsi itu, potensi produksi briket shisha mencapai 793 juta ton briket. Harga briket shisha rata-rata US$1.500 per ton sehingga potensi ekonomi ekspor briket setara Rp16,5 triliun (dengan kurs US$1=Rp14.200). Angka yang luar biasa mengingat bobot tempurung hanya 16% bobot keseluruhan kelapa. Apalagi briket arang bukan produk turunan kelapa termahal.
Masih ada VCO yang harganya US$3.000—US$4.000 per ton. Ada lagi minyak trigliserida rantai sedang (medium chain triglyceride, MCT) yang harganya di pasar dunia US$10.000 per ton. Produksi sekilogram VCO rata-rata memerlukan 10 buah kelapa. Kalau semua 14 miliar buah kelapa diolah menjadi VCO, maka potensinya mencapai 1,4 juta ton. Jumlah itu setara potensi pendapatan minimal US$4,2 miliar atau Rp596,4 triliun. Ekspor kelapa bulat menjadikan semua potensi nilai tambah itu berpindah tangan kepada pembeli mancanegara.
Sejahterakan pekebun
Harga kelapa bulat paling tinggi Rp5.000 per buah. Potensi ekonomi ekspor 14 miliar buah kelapa bulat hanya Rp70 triliun. Jika kita melihat kontribusi ekspor kelapa bulat terhadap produk domestik bruto, persentasenya kecil sekali, mungkin sekitar 0,2%. Di belakang 0,2% kontribusi itu ada 99% pekebun kecil produsen kelapa. Menurut data Kementerian Pertanian, jumlah pekebun kelapa 6 juta kepala keluarga.
Kalau setiap keluarga beranggota sedikitnya empat orang, ada 24 juta warga Indonesia yang hidupnya bergantung kepada produksi kelapa. Itu baru pekebun. Rantai perniagaan kelapa melibatkan beberapa lapis pedagang perantara, pedagang pasar, atau produsen olahannya. Jumlahnya bisa jadi mencapai 50 juta jiwa bahkan lebih. Dari jumlah total penduduk Indonesia 260 juta jiwa, 50 juta jiwa atau 19,2%—hampir seperlima total warga negara Indonesia—hidup dari kelapa.
Penurunan produksi kelapa belakangan ini mengancam taraf hidup ke-19,2% warga negara Indonesia itu. Peran aktif dan kepedulian semua pihak diperlukan untuk meningkatkan produktivitas buah kelapa Cocos nucifera. Salah satu tantangan utama produsen kelapa dunia, termasuk Indonesia, adalah serangan hama dan penyakit. Khusus di Indonesia, jarang sekali pekebun kelapa yang merawat pohonnya.
Akibatnya tanpa serangan hama atau penyakit pun produksinya rendah dan menghasilkan buah yang kurang berkualitas. Ketika harga buah rendah, pohon mereka tebang untuk mendapatkan hasil tambahan dari kayu. Sudah saatnya pekebun diajak merasakan nilai tambah produk kelapa, salah satunya dengan merawat pohon agar berproduksi optimal. (Alit Firmansyah, Market and Statistic Officer International Coconut Community)