Membakar tempurung kelapa memanen dua komoditas, arang tempurung dan asap cair. Pasar membutuhkan keduanya.
Pembuatan arang tempurung kelapa menjadi jalan hidup Margono (66) sejak 2005. Di kediamannya di Kecamatan Bandarjaya, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, kelapa melimpah. Setiap pekan ia mengirim dua ton arang tempurung kepada produsen arang aktif di Kota Bandarlampung. Ayah tiga anak itu mengirim langsung ke gudang produsen sehingga menerima harga Rp6.750 per kg.
“Kalau pembeli mengambil di sini, saya hanya dapat harga Rp6.500 per kg,” kata Margono. Pengiriman langsung menyebabkan omzet Gono—panggilannya—Rp13,5 juta per pekan. Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, itu masih punya sumber pendapatan lain hasil pembakaran tempurung kelapa, yakni asap cair. Produksi dua ton arang dari tujuh ton tempurung itu menghasilkan 300 liter asap cair kelas tiga. Ia menjual asap cair mirip teh kental itu Rp15.000 per liter. Artinya asap cair menyetorkan tambahan omzet Rp4,5 juta per pekan.
Pengayakan
Margono memproduksi arang menggunakan sepasang tungku berbahan bata merah. Pekerja mengisikan tempurung ke dalam tungku setinggi 4 m berjajar itu secara bertahap. Pengisian awal sekaligus untuk penyalaan hanya 200 kg tempurung. Setelah menyala, pekerja menambahkan lagi 500 kg, selanjutnya 1.000 kg, dan seterusnya sampai tercapai kapasitas penuh 3,5 ton tempurung per tungku. Pengisian itu melalui pintu di dinding atas tungku.
Pembakaran arang tidak menggunakan bahan bakar. Pekerja mengisikan tempurung lalu membakar potongan ranting di dalam untuk memancing api. Setelah menyala, pekerja tinggal mengawasi bara agar tidak padam sembari menambahkan tempurung baru. Menurut Gono pengisian awal sampai semua tempurung gosong sempurna menjadi arang memerlukan waktu lima hari. Arang yang keluar dari tungku mesti melalui pengayakan untuk mengurangi kadar jelaga.
Pengayakan itu mengurangi bobot arang hingga 10%. Margono memproduksi arang untuk pembuatan karbon aktif lantaran warna abunya kelabu. “Kadar abu 13%, kadar air 2%,” katanya. Pengolah menyebut arang buatannya berkualitas 15, yang merupakan jumlah total kadar abu dan kadar air. Jika lebih dari 15, produsen memotong harga beli 3%. Sebaliknya kalau kurang dari 15, harga beli pun 3% lebih mahal.
Produsen briket arang tempurung di Kota Semarang, Sarwono, menyatakan bahwa arang untuk keperluan shisha atau pemanas ruangan mesti terbakar habis. Kalaupun tersisa abu, jumlahnya hanya sedikit dan putih bukan kelabu. “Bisa saja saya membuat arang yang abunya putih, tapi ongkos produksi naik,” kata Gono. Menurut kakek satu cucu itu syaratnya tempurung bersih dari sisa sabut. Konsekuensinya sebelum mengarangkan ia harus mengerok satu per satu tempurung sampai serabut yang tersisa seminim mungkin.
Minim tar
Pengerokan sabut di permukaan tempurung itu memperlama proses sekaligus memerlukan tenaga kerja tambahan yang ujung-ujungnya membengkakkan biaya produksi. Margono menggunakan tungku berbahan bata merah itu sejak 2015. Sejak 2005 ia menggunakan drum, tapi setiap 3—4 bulan drum itu jebol. Ia merekatkan bata merah tanpa semen, hanya dengan adonan tanah liat. Konsekuensinya ia harus rajin menambal ulang agar tungku tidak bocor.
“Lapisan semen tidak kuat menahan panas, pasti pecah,” kata Margono. Tujuan penggunaan bata merah menghasilkan asap cair berkualitas. Tungku bata merah itu meminimalkan kadar tar dalam asap sehingga asap cair yang keluar dari kondensor warnanya tidak terlalu pekat. Ia menunjukkan warna asap cair yang mirip teh kental. Kalau menggunakan tungku berbahan drum atau pelat logam, warna asap cairnya pekat seperti kopi encer.
Margono mengatakan, “Asap cair kelas 3 buatan saya setara kelas 2 keluaran tungku logam.” Penyulingan ulang menghasilkan asap cair yang lebih bening, layak sebagai pengawet makanan. Pegiat pertanian organik dan penganjur pemanfaatan asap cair di Lampung Tengah, Surono Danu, menyatakan bahwa konstruksi tungku bata itu adalah warisan nenek moyang. “Asap dari tungku bata untuk memasak menghasilkan asap yang mengawetkan segala bahan makanan yang digantung di dapur,” katanya.
Atas anjuran Suronolah, Gono membangun tungku bata itu untuk memproduksi arang sekaligus asap cair itu. Ternyata selain awet, Margono bisa mendapatkan arang dan asap cair berkualitas dengan sekali proses, yakni pembakaran tempurung kelapa. (Argohartono Arie Raharjo)