Kedai kopi tradisional unjuk gigi. Mereka menawarkan kelezatan kopi hasil racikan serta narasi di balik secangkir kopi.
Demokratisasi kopi melanda seluruh dunia. Kedai kopi dengan merek lokal menjamur hampir di seluruh belahan dunia. Kedai kopi tradisional masuk ke mal dan restoran modern. Di sisi lain kafe kopi milik korporasi raksasa mulai rontok. Menurut Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf), Ricky Pesik, kedai kopi lokal hadir sebagai kedai kopi artisan.
Maksudnya kedai kopi yang menawarkan kelezatan kopi khas hasil racikan tangan peraciknya serta story alias cerita di balik setiap kopi yang disajikan. Sebelumnya istilah artisan lebih populer pada produk kerajinan tangan yang vis a vis atau berhadap-hadapan dengan produk pabrikan. Pada dunia kuliner istilah artisan terlebih dahulu disematkan pada wine yang diracik pembuatnya.
Mendunia
Produsen wine artisan paham betul produknya berasal dari anggur jenis, asal, musim, serta tahapan proses tertentu dari tanam hingga pascapanen sehingga kualitasnya terseleksi dan terjaga. Kini kedai kopi artisan pun menawarkan konsep serupa. Barista di setiap kedai kopi mampu berkisah keunikan setiap kopi yang disajikan.

Setidaknya kedai menyediakan informasi detail setiap jenis dan asal kopi khas yang tersaji untuk pelanggan. Kedai kopi artisan sering menyulap kedai dengan suasana tradisional pedesaan, rumah pekebun, kebun, dan kerap dilengkapi peralatan tanam hingga olah kopi. Menurut Ricky di Indonesia brand artisan menjamur di ibu kota negara, provinsi, bahkan kabupaten hingga pelosok nyaris tanpa campur tangan pemerintah.
“Tugas kami mendorong brand kopi asal Indonesia di pasar nasional dan internasional. Prinsipnya adalah brand expansion, bukan lagi produksi di hilir serta pascapanen di hulu karena sudah ada kementerian terkait, tetapi melampaui keduanya,” katanya. Ricky lantas menyebut brand kedai kopi seperti Anomali, Upnormal, Tanamerah, serta Kopi O.

Sebetulnya untuk melakukan brand expansion kopi di pasar nasional dan internasional terdapat 2 pilihan yaitu coffee product dan coffee shop. Yang disebut pertama membranding biji kopi atau bubuk kopi asal Indonesia, sedangkan yang kedua membranding kedai kopi milik pengusaha Indonesia. “Pada pasar nasional pengusaha lokal sudah mampu swadaya, untuk pasar internasional branding coffee shop lebih menjanjikan karena Indonesia dapat mengambil nilai tambah,” kata Ricky.
Ricky mencontohkan bila Indonesia hanya membranding biji kopi—misal kopi sumatera atau kopi sulawesi—lalu mengekspor bentuk biji, maka proses sangrai dan kemas dilakukan brand asing. Nilai tambah produk pun diambil oleh perusahaan asing. Berbeda bila ekspansi merek berupa coffee shop Indonesia. “Tentu nantinya kita akan menyaksikan kedai kopi Upnormal di London, Tanamera di Tokyo, dan Anomali di New York,” kata Ricky.
Diaspora
Tentu bukan perkara mudah untuk ekspansi merk kedai kopi nasional di kancah internasional. Namun, Ricky punya strategi unik dengan menggaet perantauan asal atau keturunan Indonesia yang menetap di luar negeri. Mereka ada yang berprofesi sebagai pengusaha di mancanegara. “Kita gaet mereka sebagai ujung tombak. Kita harap mereka tangguh seperti diaspora bangsa Tiongkok di Asia, Eropa, Australia, Afrika, dan Amerika yang menjadi marketing merk Tiongkok,” tutur Ricky.
Mereka juga didorong untuk mendirikan perusahaan atau mencari rekanan perusahaan di mancanegara. “Pemegang merk internasional selalu menggandeng perusahaan lokal untuk mengembangkan produk di mancanegara. Sebut saja Toyota, Kentucky Fried Chicken (KFC), California Fried Chicken (CFC), Starbuck, dan Dunkin Donuts, misalnya.
“Mereka punya rekanan perusahaan lokal di setiap negeri yang menjadi target pasar,” kata Ricky. Ricky kini menginisiasi ekspansi merek melalui kedutaan besar Indonesia di luar negeri. Menurut Ricky kopi Indonesia termasuk beruntung karena brand awareness masyarakat dunia terhadap kopi sangat tinggi. “Di dunia produk kreatif Indonesia yang tak lagi membutuhkan promosi adalah batik dan kopi. Semua penduduk dunia tahu batik dan kopi berkualitas pasti berasal dari Indonesia,” kata Ricky.

Persoalannya, meskipun brand awareness keduanya tinggi, nilai tambah dari batik dan kopi masih dinikmati pengusaha luar sementara untuk masyarakat Indonesia rendah,” tutur Ricky. Dengan alasan itu maka pameran produk kopi Indonesia di mancanegara sebetulnya harus dikurangi, lalu diganti dengan businees matching yang difasilitasi oleh perwakilan-perwakilan kedubes di mancanegara.
“Intinya ekspansi merek ini akan sukses bila telah terlaksana kerjasama B to B (business to business, red) Indonesia dengan mancanegara,” kata Ricky. Bila kedai kopi artisan Indonesia makin banyak di mancanegara, maka secara tidak langsung kedai kopi itu menjadi jalur untuk memperbaiki nasib pekebun kopi agar lebih sejahtera. “Pekebun kopi bukan hanya menjual kopi, tetapi juga secara spesifik menjual lokasi geografis tempat kopi ditanam,” kata Ricky.
Pekebun otomatis harus menjaga nama baik kopi asal daerahnya dengan menjaga konsistensi kualitas agar tetap untung dan sejahtera. Dengan kata lain, pekebun akan diuntungkan dengan fenomena demokratisasi kopi. (Destika Cahyana, S.P., MSc. Peneliti di Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian )